|
Ilustrasi - BBM Langka |
Di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilpres, Bank Dunia kembali menekan
Pemerintah Indonesia dan presiden terpilih agar bisa mengurangi subsidi
energi, khususnya subsidi BBM, bahkan menghapuskannya. Bank Dunia
meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp
8.500/liter. Menurut Direktur Kemiskinan Bank Dunia untuk Asia Pasifik
Timur, Sudhir Shetty, menyatakan kesejahteraan bisa dirasakan semua
orang asalkan subsidi BBM dikurangi, bahkan dihilangkan, kemudian
dialihkan ke program masyarakat miskin yang membutuhkan. “Ini perlu
dipikirkan oleh pengambil keputusan,” tegasnya dalam Seminar Bank Dunia,
Indonesia: Avoiding The Trap, Senin 23/6) di Hotel Mandarin, Jakarta.
Demi Rakyat, Subsidi Dihapus?
Kenaikan BBM selalu diikuti dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok
dan naiknya tarif angkutan umum. Akibtanya, daya beli masyarakat
berkurang atau terjadi inflasi. Kenaikan BBM juga akan membangkrutkan
industri kecil dan menengah. Dampaknya adalah terjadinya PHK. Bisa
dipastikan, kenaikan BBM justru meningkatkan jumlah rakyat miskin.
Karena itulah setiap rencana kenaikan BBM selalu diikuti dengan janji
Pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi rakyat miskin yang terkena
dampak kenaikan BBM. Kompensasi bisa dalam bentuk bantuan tunai langsung
atau janji mengalihkan anggaran subsidi untuk peningkatan belanja
infrastruktur yang diklaim bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, itu semua sebenarnya hanya kebohongan yang selalu di
ulang-ulang. Faktanya sebenarnya, setiap kenaikan BBM berdampak pada
peningkatan jumlah orang miskin dan pengangguran. Pada awal tahun 2006
(setahun setelah kenaikan harga BBM 30% pada tahun 2005), misalnya,
jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%). Artinya,
program BLT yang digelontorkan saat itu tidak berhasil menekan dampak
kenaikan harga BBM. Begitu juga tahun 2013. Menurut Menteri Perencaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, akibat
kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah orang miskin baru mencapai 4 juta
jiwa. (Kompas.com, 27/5/2013).
.
Di Balik Pesan Berulang Bank Dunia
Bank Dunia dan para ekonom kapitalis tak pernah kenal lelah. Mereka
terus-menerus menyerang kebijakan subsidi BBM. Berbagai dalih mereka
kemukakan. Tujuannya agar kenaikan BBM diterima oleh rakyat. Mereka
bahkan selalu mengatakan “demi kepentingan rakyat atau untuk
kesejahteraan rakyat” saat akan menaikkan BBM.
Sungguh ironis,
penghapusan subsidi atau kenaikan harga BBM terus dilakukan ini meski
merugikan dan menyengsarakan sebagian besar rakyat. Lalu sebenarnya
untuk kepentingan siapa penghapusan subsidi BBM tersebut?
Sejak
masa pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan SBY, IMF dan World Bank
terus memberikan utang baik dalam bentuk utang proyek maupun dana segar.
Utang proyek adalah utang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan
jasa secara kredit. Adapun utang yang berupa dana segar dari World Bank
hanya diberikan dengan skema SAP (Struktural Adjustment Project).
Pencairan SAP ini mensyaratkan Pemerintah untuk melakukan perubahan
kebijakan yang mengarah pada kebijakan untuk:
1. Mengurangi peran
Pemerintah dalam menyediakan barang publik seperti listrik maupun
pelayanan umum seperti pendidikan dan kesehatan.
2. Memberikan
keleluasaan pada pemilik modal untuk mengelola barang publik dan
pelayanan umum sebagaimana mengelola perusahaan yang bertujuan mengejar
dan menumpuk keuntungan.
Karena itu dapat ‘dimengerti’ jika arah
kebijakan Pemerintah akan ‘condong ke pasar’, yakni pada kepentingan
para pemilik modal, bukan ‘condong ke rakyat’.
Lalu muncullah
Undang-undang Migas. Sejak UU No. 22/2001 tentang migas diundangkan,
perlahan-perlahan migas akan diliberalisasi. Mulai 2005 harga beberapa
jenis bahan bakar minyak (BBM) sudah bisa dinaikkan secara bertahap
sesuai mekanisme pasar. Karena itu kenaikan BBM merupakan salah satu
amanat UU Migas No. 22/2001. UU ini menyerahkan harga migas pada
mekanisme pasar seperti yang disebutkan dalam pasal 2: Menjamin
efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengola-han,
Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan
transparan.
Pasal ini dikuatkan dengan Perpres No. 5/ 2006
Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan kebijakan harga
energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertim-bangkan bantuan
bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Ketentuan
ini diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional
2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama: (1) Rasionalisasi harga BBM
(dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga
internasional.
Karena itulah sejak Tahun 2008, Organisasi
Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar”
Pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Pada 1
November 2010, Sekjend OECD, Angel Gurria, menemui sejumlah pejabat
tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu waktu itu, Agus
Martowardoyo. OECD menyakinkan Pemerin-tah Indonesia agar segera
menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014.
Forum G-20 di
Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010) juga mendesak penghapusan subdisi
BBM. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan
melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, mulai
pada tahun 2011. Maka dari itu, kenaikan BBM sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan defisit anggaran, fiskal yang tidak sehat maupun
naiknya harga minyak mentah dunia. Semua itu hanya dijadikan alat atau
momentum untuk menutupi alasan sebenarnya, yaitu liberalisasi secara
menyeluruh di bidang migas dan energi.
Kesejahteraan Rakyat dalam Persfektif Islam.
Sistem kapitalis telah gagal memberikan kesejahteraan kepada umat
manusia baik secara materi maupun non materi. Dalam indikator ekonomi,
rasio gini Indonesia tahun 2013 menyentuh angka 0,41. Artinya, 1%
penduduk menikmati 41% pendapatan, kekayaan atau sumberdaya. Kondisi ini
menggambarkan ketimpangan yang luar biasa antara penduduk kaya dan
penduduk miskin. Jadi, walaupun Indonesia negara kaya, jumlah penduduk
miskinnya saat itu melebihi 100 juta orang. Adapun mereka yang secara
ekonomi tergolong menengah dan kaya, walaupun secara materi kebutuhan
pokoknya terpenuhi bahkan sampai kebutuhan sekunder dan tersiernya bisa
mereka nikmati, ternyata banyak yang tidak merasakan kebahagian dan
kesejahteraan sehingga hidupnya penuh dengan tekanan alias stres.
Karena itulah kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai
dengan ukuran material saja. Kesejahteraan juga dinilai dengan ukuran
non-material seperti kebutuhan spiritual yang terpenuhi, nilai-nilai
moral yang terpelihara dan keharmonisan sosial yang tercipta.
Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua
kriteria. Pertama: kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi;
baik pangan, sandang, papan, pendidikan maupun kesehatannya. Kedua:
agama, harta, jiwa, akal dan kehormatan manusia terjaga dan terlindungi.
Dalam pandangan syariah Islam kewajiban mewujudkan kesejahteraan merupakan tugas bersama individu, masyarakat dan negara.
Secara individual, setiap Muslim didorong untuk mengoptimalkan potensi
yang ada pada dirinya—tubuh, akal, waktu dan usia—yang merupakan
anugerah Allah SWT. Setiap individu didorong agar menggunakan kaidah
kausalitas untuk mewujudkan kesejahteraan-nya. Agar tercukupi
kebutuhannya, setiap lelaki dewasa wajib bekerja. Setiap orang wajib
memperhatikan siapa saja keluarga dan kerabatnya yang menjadi
tanggungannya. Negara dapat melakukan intervensi ketika ada seseorang
yang malas bekerja atau terlantar. Padahal ada anggota keluarganya yang
berada.
Negara memiliki peran yang sangat besar dalam mewujudkan
kesejahteraan, yaitu melalui kebijakan politik ekonomi Islam. Semua ini
diwujudkan dalam bentuk politik anggaran, politik pertanian, politik
industri dan lain-lain.
Adapun masyarakat memiliki fungsi utama,
yakni kontrol sosial. Mereka harus bisa ikut memastikan individu bisa
terus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Mereka juga
berperan dalam mengawasi dan mengoreksi pemerintahan agar istiqamah
dalam menerapkan syariah Islam yang menjamin pemenuhan kesejahteraan di
masyarakat.
Dengan demikian kesejahteraan tidak hanya buah sistem
ekonomi semata. Kesejahteraan juga buah dari sistem hukum, sistem
politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah SWT telah menjadikan
agama ini sebagai dînul kâmil, agama yang sempurna. Syariahnya mengatur
seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi, hukum, sosial maupun
budaya. Bila syariah diterapkan secara kaffah oleh Daulah Khilafah,
niscaya kesejahteraan hakiki akan terwujud dalam kehidupan ini.
Demikianlah sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
"Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami
akan membukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi untuk mereka.
Akan tetapi, mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Karena itu Kami menyiksa
mereka atas apa yang mereka lakukan" (QS al-A’raf [7]: 96).
Wallahu a’lam bi ash-Shawab. [] (
tajukislam)
sumber:
Tasikmalaya bersyari'ah