Ilustrasi Hijab Syar'i |
Berjilbab itu,
Bukan Potongan
Bukan Celanaan
Bukan Press di Badan
Bukan Buka-bukaan
Bukan Potongan
Bukan Celanaan
Bukan Press di Badan
Bukan Buka-bukaan
Jilbab Fatimah Azzahra |
============================================
Kewajiban Berjilbab
Sabab Nuzul
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd
bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi
Malik: Dulu isteri-isteri Rasulullah SAW keluar rumah untuk keperluan
buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti
mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, “Kami hanya mengganggu
hamba sahaya saja.” Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar
mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.1
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
Yâ ayyuhâ an-Nabiyy qul li azwâjika wa banâtika wa nisâ’ al-Mu’mînîn
“Hai Nabi, katakanah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin).
Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW.”
Allah SWT memerintahkan Nabi SAW untuk
menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang
dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah:
yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna
“hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”
Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari
kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama
mengenai kata jilbab.
1) Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.
2) Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ’ itu seperti as-sirdâb (terowongan).
3) Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.
4) Ada juga yang mengartikannya sebagai
milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang
menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya.
5) Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang menutupi wanita.
6) Al-qamîsh (baju gamis).
7) Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.
8) Bahwa jilbab adalah setiap pakaian
longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian
dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra. :
Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk
keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig,
wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita
yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, “Wahai
Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki
jilbab?” Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan
jilbabnya kepadanya.” (HR Muslim).
Hadis ini, di samping, menunjukkan
kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah,
juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab
bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab,
jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak
mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam
rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak
terkategori sebagai jilbab.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri’
dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah,
rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan
yurkhîna (mengulurkan ke bawah).
9) Meskipun kalimat ini berbentuk khabar
(berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas
perintah sebelumnya.
10) Berkaitan dengan gambaran yudnîna
‘alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut
sebagian mufassir, idnâ’ al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan
menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya
kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah
Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,
11) dan as-Sudi.
12) Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.
13) Sebagian lainnya yang menyatakan,
jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung.
Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian
besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan
Qatadah.
14) Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.
15) Ada pula yang berpendapat, wajah
tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah,
jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya,
16) sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)
17) yang juga diwajibkan (QS. an-Nur [24]: 31).
Pendapat ini diperkuat dengan hadis
Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah menghadiri shalat Id
bersama Rasulullah SAW. Setelah shalat usai, Beliau lewat di depan para
wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ
Beliau bersabda, “Bersedakahlah karena kebanyakan dari kalian adalah
kayu bakar neraka.” Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah
wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf’â
al-khaddayn) bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Deskripsi Jabir ra. bahwa kedua pipi
wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW kedua pipinya kehitam-hitaman
menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis ini dikaitkan
dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat
hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu
tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab
atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah SAW akan menegur
wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini,
terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang
membuka wajahnya dalam kehidupan umum.
Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. an-Nur (24) ayat 31:
Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ
“Dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya.”
Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak
adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur
menurut jumhur ulama.
18) Pendapat yang sama juga dikemukakan
Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya’tsa’,
adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,
19) dan al-Auza’i.
20) Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-’Arabi.
21) Meskipun ada perbedaan pendapat
tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab
yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di
dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW :
“Siapa saja yang menyeret bajunya
lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu
Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?”
Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi,
“Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah SAW
bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang
diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki
wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi
najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang
dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi,
dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia
pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang
panjang dan digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah
menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba’dahu
(Itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu.”
Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat).
22) Yang dimaksud dengan lebih mudah
dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan
jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan
budak.
23) Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah ‘illat
(sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi
pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah
hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban
berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak,
tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang
amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan
perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.
Mendatangkan Kebaikan
Ayat ini secara jelas memberikan
ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian
tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita,
mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap
diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan
mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar
jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama.
Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak
harus sama.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum
akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup
jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan
jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan
jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban
berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia
terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat
dilarang oleh Islam.
Fakta menunjukkan, di negara-negara
Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka
perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995,
misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa
setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872
setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya!24 Realitas ini makin
membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn
(Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga
mereka tidak diganggu).
Bagi wanita, jilbab juga dapat
mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat,
penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya,
dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika wanita
tampil ‘terbuka’ dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada
fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita
dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.
Walhasil, penutup ayat ini harus menjadi
catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh
Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini
memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu
bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau
disayangi-Nya?!
Sumber Tulisan : Majalah Al-Wai’e (detikislam/tajukislam)
Catatan Kaki:
1. As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 414-415.
2. Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 542.
3. Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
4. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 382; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2001), 355; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wadhîh (Dar at-Tafsir, 1992), 625.
5. Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542.
6. Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 106; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 482; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 469; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 437.
7. Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 135.
8. Al-Baqa’i, Nazhm Durar, 135.
9. Azl-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 264;
10. Al-’Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyah, vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), 102.
11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 231-231.
12. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 240.
13. Al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr li Kalm al-’Aliyy al-Kabîr, vol. 4 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 290,291; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2, 355 al-Baydhawi, Anwâr al-Tanz lî Asrâr al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 252.
14. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13, 156; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 231
15. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13, 156.
16. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 637
17. Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 8 (tt: Dar as-Salam, 1999), 4481.
18. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
19. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
20. As-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân fî Idhâh al-Qur’an, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 512; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3, 287.
21. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 301; al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 360; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3, 382.
22. Al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 11 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 143.
23. Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-’Azîz, vol.4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 399.
24. Ismail Adam Pathel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, terj. Abu Faiz (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2005).
2. Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 542.
3. Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
4. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 382; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2001), 355; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wadhîh (Dar at-Tafsir, 1992), 625.
5. Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542.
6. Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 106; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 482; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 469; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 437.
7. Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 135.
8. Al-Baqa’i, Nazhm Durar, 135.
9. Azl-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 264;
10. Al-’Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyah, vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), 102.
11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 231-231.
12. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 240.
13. Al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr li Kalm al-’Aliyy al-Kabîr, vol. 4 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 290,291; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2, 355 al-Baydhawi, Anwâr al-Tanz lî Asrâr al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 252.
14. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13, 156; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 231
15. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13, 156.
16. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 637
17. Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 8 (tt: Dar as-Salam, 1999), 4481.
18. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
19. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
20. As-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân fî Idhâh al-Qur’an, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 512; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3, 287.
21. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 301; al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 360; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3, 382.
22. Al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 11 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 143.
23. Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-’Azîz, vol.4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 399.
24. Ismail Adam Pathel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, terj. Abu Faiz (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2005).
Posting Komentar