Ilustrasi: Suap/Sogok |
Hukum Gaji Dari Pekerjaan Yang Diperoleh Dengan Suap
Tanya :
Ustadz, bagaimanakah hukum gaji yang diterima seorang pegawai, yang awalnya memberi suap untuk mendapatkan pekerjaannya itu? (Dedi, Konda)
Jawab :
Suap (Arab : ar risywah, boleh dibaca ar rasywahatau ar rusywah) adalah harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahib al shalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang semestinya wajib dia wujudkan tanpa pemberian harta. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 171; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 22/219).
Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap. Dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Dari Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 118).
Maka dari itu, haram hukumnya seseorang menyuap untuk memperoleh pekerjaannya, bagaimanapun juga caranya dan jenis pekerjaannya, baik dia memperoleh pekerjaan itu melalui cara yang resmi (formal) maupun tak resmi, baik pekerjaaan itu halal maupun haram.
Adapun hukum gaji dari pegawai yang memperoleh pekerjaannya dengan jalan suap, menurut kami ada dua kemungkinan hukum syara’ sebagai berikut;
Pertama, gajinya halal, sepanjang memenuhi dua syarat berikut; (1) pegawai tersebut telah memenuhi segala syarat (kualifikasi) untuk memperoleh pekerjaannya, misalnya mempunyai ijazah sesuai yang dipersyaratkan, mempunyai IPK (indeks prestasi kumulatif) minimal yang tertentu, lulus tes tertulis, lulus tes wawancara, dsb. Dalil syarat pertama ini adalah sabda Rasulullah SAW, ”Kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, no 1363, hadits hasan shahih).
(2) Pekerjaannya sendiri adalah pekerjaan yang mubah, bukan pekerjaan yang diharamkan syara’. Dalil syarat kedua ini adalah kaidah fiqih : Laa tajuuzu ijaarah al ajiir fiimaa manfa’atuhu muharramah (tidak boleh melakukan akad ijarah [akad jasa tenaga kerja] pada jasa/manfaat yang diharamkan). (Taqiyuddin An Nabhani,An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93). Contoh pekerjaan haram misalkan pekerjaan pegawai bank yang melakukan transaksi riba baik langsung atau tidak, seperti direktur bank, petugas teller, dan auditor bank. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93-94).
Kedua, gajinya haram jika pegawai tersebut tidak memenuhi salah satu atau dua syarat di atas. Misalkan pegawai itu tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan (tidak mempunyai ijazah atau IPK minimal yang disyaratkan, tidak lulus tes tertulis, dsb) dan/atau pekerjaannya itu sendiri haram secara syar’i.
Kesimpulannya, semua suap adalah haram termasuk suap untuk mendapatkan pekerjaan. Adapun gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan jalan suap, hukumnya halal jika pegawai itu memenuhi segala kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaannya dan pekerjaannya sendiri adalah mubah secara syar’i. Adapun jika pegawai itu tidak memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaannya dan/atau pekerjaannya sendiri haram secara syar’i, maka gajinya haram. Wallahu a’lam. (mediaumat.com/ti)
Posting Komentar