LARANGAN semacam ini muncul dari kepercayaan yang salah bahwa di hari
Kebangkitan nanti, semua bagian tubuh seseorang akan kembali, sehingga
jka rambut dan kuku tersebut dipotong pada saat orang itu berada dalam
keadaan tidak suci seperti junub dan menstruasi. Maka bagian-bagian
tubuh itu akan kembali kepadanya dalam keadaan najis. Ini adalah sebuah
keyakinan yang sangat menyesatkan karena tidak ada dasarnya sama sekali
dalam agama.
Keterangan yang ada justru mengindiksikan sebaliknya. Aisyah ra,
mendapat haidh saat mngikuti haji wadaa’. Rasulullah SAW bersabda
kepadanya, “Bukalah ikatan rambutmu dan sisirlah. Lalu masuklah ke dalam
ihram untuk mengikuti haji ….” [Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]. Dan
menyisir rambut biasanya selalu diikuti dengan lepasnya beberapa helai
rambut.
Lalu ada juga hadist hasan dalam sunah Abu Dawud, tentang perintah
Rasulullah SAW kepada seseorang yang baru memeluk Islam untuk memotong
rambutnya, berkhitan dan mandi (gusl). Berdasarkan dua hadits ini, Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menjelaskan; karena Rasulullah SAW tidak
menjelaskan urutannya apakah memotong rambut dulu atau mandi dulu, maka
hal ini mengindikasikan bolehnya memotong rambut dalam keadaan tidak
suci seperti junub dan menstruasi.
Dengan demikian, larangan memotong kuku, rambut, bulu ketiak dan kwmaluan saat menstruasi tidaklah benar, karena 2 alasan:
1. Tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Hadits-hadits shahih dan hasan di atas mengindikasikan bahwa melakukan hal itu tidak apa-apa.
Ini juga kesimpulan para fuqaha dari madzhab As-Syaafi’i, yang
mengatakan tidak apa-apa bagi wanita yang sedang menstruasi untuk
memotong kuku, bulu ketiak dan kemaluan.
Selain itu, juga perlu diketahui bahwa memotong kuku, mencukur rambut
ketiak dan sekitar kemaluan hukumnya adalah wajib, tidak boleh
dibiarkan melebihi 40 hari, baik untuk pria maupun wanita.
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah SAW menetapkan batas
waktu bagi kami untuk memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu
ketiak dan mencukur bulu kemaluan. Kami tidak diperbolehkan
membiarkannya lebih dari 40 hari.” [Shahih Muslim, dan juga
hadist-hadits serupa dalam Sunan An-Nasaa'i dan Musnad Ahmad]
[santi/islmapos/tajukislam]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar